Pendidikan Nasional Perlu Perubahan Fokus
Pendidikan
Nasional Perlu Perubahan Fokus.
Sudah
begitu banyak pernyataan dan keluhan tentang rendahnya kualitas sumber daya
manusia Indonesia, yang tentu saja terkait dengan mutu lulusan yang dihasilkan
oleh sistem pendidikan. Selain itu, teutama akhir-akhir ini, banyak pula
keluhan masyarakat akan semakin mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk
pendidikan anak-anak mereka. Padahal, anggaran negara yang di alokasikan untuk
pendidikan itu selalu bertambah dari tahun ke tahun, baik dari segi jumlah maupun
proporsinya pada APBN.
Sungguh
ironis bahwa anggaran selalu naik tetapi kualitas lulusannya tetap rendah dan
justru di rasakan semakin mahal. Mengapa hal seperti ini terjadi ? padahal
kurikulum dan buku, entah sudah berapa kali diubah. Entah sudah berapa macam
metode mengajar yang di tatarkan kepada guru. Bahkan, penataran guru sepertinya
tak henti-hentinya di lakukan. Akankah keadaan ini dibiarkan terus berlanjut ?
Jika tak menghasilkan lulusan yang berkualitas dan dapat di andalkan, dapatkah
pendidikan itu di sebut sebuah investasi untuk masa depan ? masih banyak
pertanyaan lagi.
Sebenarnya,
tidaklah terlalu sulit untuk menemukan penyabab, mengapa hal-hal di atas terjadi. Hanya dengan akal sehat / common
sense saja yang akan dengan mudah menemukan bahwa selama tiga tahun
terakhir pendidikan di Indonesia tidak mementingkan hasil / kualitas
lulusannya. Nyaris tak ada murid yang pernah mengalami tidak lulus / tidak naik
kelas, betapa pun bodohnya dia, sejak dari SD sampai tamat SMA. Pusat perhatian
(fokus) dari setiap kebijakan umumnya hanya tertuju kepada urusan kurikulum.
Semua sarana dan prasarana yang di adakan / di bangun hanya di pandang sebagai instrumen
pelaksanaan kurikulum. Yang cenderung di lupakan ialah bahwa kurikulum itu
sendiri sebenarnya adalah instrumen untuk mengahasilkan lulusan yang
berkualitas.
Akibatnya,
para pembuat kebijakan telah merasa berhasil dan para guru telah merasa aman
jika seluruh prosedur kurikulum telah
terlaksana, meskipun lulusannya tidak memiliki pengetahuan dan kemahiran yang
di tuntut oleh kurikulum itu sendiri. Guru akan jauh lebih khawatir jika
ketahuan tak mengikuti prosedur CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) yang telah di tatarkan
kepadanya daripada ketahuan bahwa para muridnya tetap bodoh. Kenyataan bahwa
hampir seratus persen lulusan SMA tak menguasai bahasa Inggris dengan agak
pantas walaupun telah belajar bahasa Inggris enam tahun tak henti-hentinya,
empat jam per minggu, tidaklah membuat guru dan pembuat kebijakan bersedih.
Masyarakat
pun tak pernah ada yang protes, ketika melihat bahwa murid yang sama ternyata
bisa berbahasa Inggris hanya dengan ikut kursus enam bulan saja, juga tak
membuat ada yang merasa bersalah.
Suatu
sistem pendidikan yang terlalu fokus kepada kurikulum biasanya tidak pernah
memuaskan masyarakat, karena apa pun yang di keluhkan tentang pendidikan
cenderung di tuduhkan kepada kurikulum sebagai penyebabnya. Kadang kurikulum di
katakan terlalu sempit, ramping dan ringan, namun di saat lain ia dikatakan
terlalu luas, gemuk dan berat. Setiap ada masalah yang timbul, pasti di katakan
karena belum masuk dalam kurikulum atau karena masih kurang banyak.
Pada
sistem seperti ini, sungguh berat beban dan tekanan bagi mereka yang di beri
tanggung jawab menyusun kurikulum. Berbagai macam perubahan teori dan filosofi
juga biasanya di ajukan sebagai jawaban bagi setiap masalah yang terkait dengan
pendidikan. Akibatnya kurikulum itu sendiri lalu sering di modifikasi, bahkan
di ubah-ubah. Bahkan sering ada pameo bahwa setiap kali ganti menteri tentu ganti
kurikulum.
Lebih
membingungkan lagi, setiap terjadi perubahan pendekatan / teori / filosofi,
tentu akan disertai pula dengan berbagai jargon dan istilah-istilah baru. Dulu
CBSA, kemudian link and match dan sebagainya, dan kini ada Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK). Berikutnya entah berbasis apa lagi, tetapi ujungnya
selalu saja berupa penataran guru, ganti buku, ganti acara membuat persiapan
mengajar, ganti acara tampil di kelas, ganti cara ulangan dan sebagainya.
Bahkan
sering terjadi, kurikulum telah dimodifikasi lagi ketika yang lama belum smapai
di sekolah. Celakanya setiap perubahan kurikulum menimbulkan ongkos yang mahal sekali karena akan memerlukan
proyek-proyek baru untuk penyesuaian buku, cara mengajar, alat belajar-mengajar
dan sebagainya.
Sungguh
di sayangkan bahwa triliunan rupiah yang
seyogianya dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas dan kesejahteraan
guru serta untuk prasarana sekolah,
terpaksa di habiskan untuk melatih guru
tentang cara mengajar baru, menyesuaikan dan mencetak ulang buku, atau membayar
banyak konsultan asing untuk prosedur mengajar. Andaikan biaya tersebut
digunakan untuk prasarana sekolah dan untuk peningkatan penguasaan guru atas materi yang di ajarkannya, tentulah hasil
yang di perolehnya (kualitas lulusannya) akan meningkat, apapun metode mengajar
yang di pilih mereka. Di saat sebagian
besar guru justru belum menguasai materi pelajaran, tentulah penataran tentang
metode baru dalam mengajar tak akan banyak mengubah keadaan mutu lulusan.
Lalu
apa yang perlu di lakukan untuk mengatasi persoalan di atas ? jawabannya ialah
memindahkan fokus perhatian dan kebijaksanaan dari urusan kurikulum kepada
masalah kualitas lulusan. Misalnya pertanyaan yang di bahas seyogianya tentang
mengapa terjadi kesenjangan yang amat besar dalam hal kualitas lulusan, baik
antar daerah maupun antar sekolah umum dan madrasah. Padahal mereka menggunakan
kurikulum yang sama, dengan gaji guru (pegawai negeri) yang sama, sarana yang
di distribusikan sama, penataran guru (metodenya) sama saja.
Mengapa
lulusan madrasah dan lulusan daerah tertentu nyaris tak ada yang bisa masuk
ITB, UI dan UGM, jika harus melalui tes masuk ? Mengapa ketika ada perusahaan
besar berinventasi di daerah dan melakukan seleksi untuk mendapatkan karyawan,
nyaris tak ada lulusan setempat yang
diterima karena kualifikasinya rendah ? Bukankah hal ini membahayakan persatuan
nasional ? mengapa lulusan daerah tersebut berbeda kualitasnya meskipun nilai
ujian yang di berikan sama dan dari ujian yang ikatannya nasional ? Mengapa lulusan sekolah Indonesia tak mendapatkan
pengakuan yang semestinya ketika harus bersaing dengan lulusan sekolah dari negara-negara
tetangga ? Padahal kita telah para guru jauh lebih intensif ?.
Daripada
memaksakan gaya mengajar tertentu secara nasional, mengapa tidak memaksakan saja suatu standar
kelulusan minimal secara nasional ? mengapa tidak melihat cara lain yang yang terbukti mengalami kemajuan amat pesat
dalam meningkatkan kualitas lulusan selama 20 tahun terakhir, misalnya Malaysia, yang meskipun berbentuk
negara federal (bukan sekedar otonomi) tetapi mengapa justru memiliki sampai
dua lembaga otorita pengujian, yaitu Malaysian Examination Syndicate dan
Malaysia Examination Council ? Keduanya melakukan standardisasi kualitas
lulusan secara nasional bahkan dengan standar yang memadai untuk diberlakukan
secara nasional, baik dalam hal pengetahuan maupun dalam kehadiran yang lulus.
Adapun
kurikulum nasional cukup berfungsi sebagai rambu-rambu umum tentang luas
cakupan dan tingkatan minimum pada suatu materi pelajaran. Jadi tak perlu
mengatur sampai kepada urutan topik per bulan / minggu dan sebagainya, apalagi
sampai kepada memaksakan suatu metode / teori mengajar tertentu. Guru akan
memiliki kebebasan dan otoritas yang lebih besar namun harus bekerja lebih
keras karena muridnya harus mencapai standar lulusan. Sementara murid, tentu
saja harus belajar lebih serius kalau ingin lulus. Berbagai kebijakan dan
aturan yang di buat tentu akan lebih banyak berkenan dengan persyaratan
kelulusan, prosedur pengujian, pemberian ijazah sertifikat dan sebagainya,
daripada hal-hal seperti cara mengajar dan struktur isi buku, yang pada
hakikatnya membelenggu guru.
Dalam
kaitan ini, alokasi anggaran pendidikan sudah semestinya lebih di dominasi oleh
:
1. Upaya
membantu guru agar lebih sukses dalam menghasilkan lulusan berkualitas
(termasuk kesejahteraannya).
2. Mendorong
murid agar lebih giat belajar serta tak terhalang oleh kendala ekonomi jika ia
menunjukkan prestasi baik, artinya hampir semua biaya di luar pembangunan
prasaran dan sarana haruslah di alokasikan dalam bentuk layanan secara langsung
kepada guru dan murid. Ia dapat berupa beasiswa, bantuan pembebasan biaya jika
anak guru kuliah, pinjaman khusus profesi.
Ringkasnya
birokrasi pendidikan dituntut untuk lebih dominan fungsi pelayanannya daripada
fungsi pengendalian. Adapun yang harus dilayani adalah guru dan murid, bukan
sistemnya. Karena merekalah pelaku utama dibidang pendidikan. Sementara yang
lain pada hakikatnya adalah pemeran pembantu yang memiliki misi sama yaitu
membantu guru agar sukses mengajar dan membantu murid agar sukses belajar.
Suatu
sistem pendidikan yang terfokus pada upaya mendapatkan lulusan berkualitas juga
dengan sendirinya akan mendorong tumbuhnya berbagai karakter pribadi yang
positif. Sebutlah seperti disiplin, jujur dan lebih mengandalkan kemampuan
sendiri, pola pikir yang lebih rasional dan ilmiah, terbiasa bekerja, tahan
mental dalam menghadapi kesulitan.
Adanya
standar nasional kelulusan yang dilaksanakan oleh sebuah lembaga penguji yang
profesional dan memilikii otoritas akan menghilangkan kesenjangan kualitas
lulusan antar daerah. Indikator kemajuan di bidang pendidikan tidak lagi diukur
dengan statistik angka partisipasi murid belaka, tetapi lebih pada tingkat
literasi nasional, seperti angka buta huruf, penguasaan, baca tulis hitung pada
murid kelas tiga dan enam SD, proporsi lulusan SMP dengan nilai cemerlang.
Orangpun
akan cenderung memantau berapa anak yang menjadi lebih pintar telah mencapai
tingkatan apa, jika di bandingkan dengan tahun sebelumnya maupun negara lain.
Perdebatan publik tentang teori, filosofi kurikulum dengan berbagai jargon yang
menyertainya, gaya mengajar juga dengan sendirinya akan berkurang.
Yang pasti, masyarakat tidak
terkecoh dengan menilai kualitas sekolah dari kemegahan gedung dan fasilitas
tambahan yang dimiliki, melainkan dari proporsi kelulusannya yang
berkualifikasi cemerlang.
Jangan
Buyarkan Sistem Pendidikan di Indonesia
Ganti menteri ganti kebijakan,
itulah ungkapan yang mencerminkan betapa kebijakan pemerintah di setiap sektor
sangat bergantung pada selera sosok menteri terkait. Alhasil sering kali
terjadi tambal sulam kebijakan antara menteri sebelumnya dan menteri yang
sedang berkuasa. Pada tataran konsep terjadi daur ulang tetapi substansinya
justru tidak terukur.
Selama lebih kurang tiga tahun menjabat Menteri Pendidikan
Nasional Abdul Malik Fadjar berupaya menempatkan pendidikan dalam kerangka
human investment (investasi untuk pembangunan sumber daya manusia). Ia
menyadari bahwa kerang atersebut tak mudah dijabarkan dan langsung kelihatan
hasilnya. Alasannya ketika mulai menduduki jabatan tersebut, Juli 2001, bangsa
Indonesia berhadapan dengan tantangan globalisasi di mana kualitas sumber daya
manusia merupakan keniscayaan. Namun pada sisi lain belum semua komponen bangsa
siap menyambut dan melakoni perubahan tersebut.
Program nasional yang sudah
berjalan beberapa tahun sebelumnya, yakni Wajib Belajar 9 tahun. Program ini
sangat strategis karna menyangkut pendidikan dasdar. Dari sinilah bermula
penanaman nilai-nilai akademis dan sangat menentukan keberhasilan tahap-tahap
pendidikan selanjutnya. Apalagi konstitusi mengamanatkan agar negara memberikan
layanan pendidikan kepada semua warganya. Layanan pendidikan yang mendasar
bermula dari pendidikan dasar sembilan tahun.
Selama ini Depdiknas berusaha
merespons globalisasi dan otonomi serta demokratisasi. Untuk itu, berlandaskan
pendidikan berbasis masyarakat luas karena 75% masyarakat tidak melanjutkan ke
pendidikan tinggi, tetapi mereka butuh lapangan kerja. Agar bisa merangkum
basis besar, orientasi pendidikan ditambah life skills atau kecakapan
hidup. Pendekatannya bisa formal maupun nonformal. Sebetulnya pranata itu sudah
ada di masyarakat, tinggal bagaimana agar institusi pendidikan yang ada di
masyarakat lebih di dinamiskan dengan kekuatan ekonomi berupa budget block
grant dan alokasi per daerah.
Seiring dengan era otonomi
pemerintah pusat memandang hubungan pusat dan daerah tidak dalam kerangka
hierarkis tetapi konsultatif. Dengan tujuan memberdayakan daerah, pemerintah
pusat menyalurkan bantuan dalam model block grant, dana alokasi umum (DAU), dan
dana alokasi khusus (DAK). Itu semua dalam kerangka memberdayakan mulai dari
tingkat SD sampai SMA yang diserahkan kepada kabupaten/kota dan provinsi.
Penetapan konsep itu disambut
dengan beragam, terlebih dalam era reformasi dan demokratisasi. Pada kondisi
obyektif tuntutan masyarakat sangat tinggi. Masyarakat sudah pintar bicara, LSM
makin menunjukkan peranannya. Sebetulnya itu fenomena menggembirakan. Cuma yang
perlu diantisipasi, jangan sampai semua itu kehilangan orientasi utama dalam
pendidikan, yakni human invesment. Investasi pendidikan tidak bisa instan.
Kesenjangan itu timbul dalam
kerangka normatif dan kerangka ekspektasi atau harapan. Pendidikan yang
diproses dengan kerangka normatif dan imperatif itu hasilnya tidak selalu
berjalan dengan realitas yang dihadapi. Banyak orang mengumpat konsep
pendidikan mengarah pada pembodohan dan macam-macam. Media massa pun ikut
memberikan sorotan. Yang banyak disoroti antara lain kurikulum dan buku.
Sebetulnya itu semua dampak negati dari penyikapan dan keputusan masing-masing
yang kurang tepat.
Kurikulumitu sendiri tidak ada
yang permanen, dan dijalankan dengan memudahkan, jadi semacam menu agar mudah
dicerna. Contoh, sekarang sudah zaman teknologi informasi, yang di kota sudah
bisa, tetapi yang di daerah ? Mulai dari Aceh sampai Papua beragam betul. Ini
perlu dipetakan dan secara jeli dicermati. Pendidikan tidak lagi seragam . Dulu
semua SD Inpres di komando dari atas, sekarang tidak bisa lagi. Kebijakan ini
yang harus dietapkan secara luwes dan luas.
Idealnya, wajib belajar di
tanggung pemerintah. Kalau negara kita kecil dengan jumlah pendidikan, kecil
mungkin bisa saja di gratiskan saja. Indonesia pun pernah melakukan itu ketika
zaman awal perang kemerdekaan dan sesudah merdeka tahun 1945. Sekarang, itu
tentu mustahil, yang perlu digalakkan adalah menggerakan semua sumber pendanaan
untuk membiayai pendidikan sehingga tercipta mekanisme subsidi silang yang
adil.
Lima tahun ke depan, tantangan
yang paling berat adalah memenuhi tuntutan masyarakat akan pendidikan murah
serta bermutu. Itu wajar namun sekali lagi, ini hanya bisa dipenuhi kalau
terjadi sinergi positif antara masyarakat, orang tua dan pemerintah. Kalau
dibebankan kepada pemerintah saja, apalagi dengan kondisi sekarang, tentu hal
ini sangat sulit.
Beberapa usulan sudah
dimasukkan, seperti pajak pendidikan dan kompensasi pajak. Tetapi sekali lagi,
itu semua masih belum bisa karena memerlukan kebijakan nasional yang harus ada
landasan hukum, yang sampai hari ini belum ada. Seperti soal yayasan sampai
sekarang masih diperdebatkan, itu sebetulnya tidak perlu dikhawatirkan, yang
perlu dicegah adalah penyimpangan, penipuan terhadap dunia pendidikan. Sekali
kita berlaku curang terhadap dunia pendidikan berarti sekali kita mencurangi
bangsa ini secara berkesinambungan.
Status perguruan tinggi negari
sebagai badan hukum milik negara (BHMN) terus di galakkan, terutama pada sejumlah PTN. Masalahnya hingga sejauh
ini sistem anggaran negara tidak mengenal istilah BHMN sehingga sejumlah PTN
yang telah berstatus BHMN agak kerepotan.
Sebetulnya itu tak perlu
terjadi kalau semua pihak berpikir secara komprehensif. Peraturan pemerintahpun
sebetulnya kuat. Bukankah peraturan itu juga dibuat dengan melibatkan instansi
terkait ? Tetapi, mungkin itu bisa
dibenahi nanti setelah ada UU BH Perguruan, seperti diamanatkan UU Nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Seharusnya setiap PTN
mempunyai riset dan program studi yang paling menonjol. ITB, misalnya mungkin
bisa menonjol pada teknologi industri. Kemudian UI pada bidang kedokteran atau
ekonomi. UGM mungkin di bidang hukum. Itu perlu pembenaharan, Guru besar
seharusnya di daftar sesuai dengan kepakaran dan asal universitasnya sehingga
kalau ada orang mau berguru tinggal melihat referensi saja.
Pasca sarjana harus melekat
pada fakultas, bukan lagi program studi. Dengan demikian strata pendidikan di
PTN/PTS hanya terbagi atas indergraduante, postgraduante dan doktoral.
Itu cukup diserahkan pada fakultas masing-masing.
Kendala yang ada pada saat ini
adalah harus memenuhi tuntutan yang berlapis dan beragam. Secara geografis bentangan
Indonesia sangat luas. Secara sosial, ekonomi dan budaya juga ada kesejangan
yang lebar. Menjembatani itu bukan mudah, pada posisi lain juga belum semua
siap mengubah paradigma sentralisasi ke otonomi. Ada daerah yang semuanya masih
bergantung pada pusat. Ini semua masih memerlukan proses.
Wajib belajar sembilan
tahun agar benar-benar tuntas paling
lambat tahun 2009. Tidak hanya dari segi kuantitatif, tetapi juga kualitatif.
Setiap kenaikan kualitatif perlu penunjang sarana dan prasana berkualitas juga
terutama guru yang menjadi kunci utama. Siapapun yang menjadii menteri tidak
perlu khawatir karena masyarakat sendiri sudah terlibat langsung memainkan
peranannya dalam dunia pendidikan. Sistem yang telah ada harus jalan jangan
sampai buyar.
Kita telah menaikan gaji guru
dan tunjangan fungsional mereka 100-150%, tetapi tidak smua pihak berguru
Rp.50.000,- saja per orang per bulan butuh tambahan anggaran negara Rp.1,9
trilyun per tahun. Masalah kualifikasi dan kesejahteraan guru memang perlu
perhatian khusus pada masing-masa mendatang.
Pada pelaksanaan UAN (Ujian
Akhir Nasional) pertama tanpa sorotan, ketika nilai standar kelulusan dinaikkan
dari 3,01 menjadi 4,01 muncullah kritik bahwa itu tidak realistik. Padahal demi
mutu, standar kelulusan mestinya memang naik. Kemudian timbul kritikan bahwa
pemerintah melakukan pembodohan dan bertentangan dengan UU. Sebetulnya kalau semua pihak bisa
dipercaya, pemerintah tak perlu ikut campur terlalu jauh.
Masalahnya, kasus manipulasi
angka dan ijazah palsu masih dipercaya, pemerintah tak akan ikut campur terlalu
jauh. Masalah kasus manipulasi angka dan ijazah palsu masih saja terjadi.
Berdasarkan UU Sisdiknas, nantinya ada semacam lembaga independen yang mangatur
standar ujian.
Komentar
Posting Komentar